© 2013 FFD |
Bertempat di Ruang Seminar TBY pada hari Jumat (13/12), seminar ini diawali dengan
presentasi oleh Mokh Sobirin (Pengelola Omah Kendeng.org) mengenai media sebagai alat untuk pertukaran informasi. Berdasarkan zamannya, media dibagi menjadi dua
generasi, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Pada media generasi pertama,
penikmat media hanya menerima komunikasi secara satu arah. Adapun yang termasuk
dalam media generasi pertama adalah koran, radio, dan televisi—meskipun pada
perkembangannya beberapa dari media ini juga memungkinkan adanya interaksi. Prinsipnya,
penonton cenderung lebih pasif. Sementara pada media generasi kedua, interaksi antara pembuat
berita dan penikmat berita merupakan hal yang paling penting. Media generasi
kedua ini, misalnya website, blog, Facebook, dalam
penggunaannya melibatkan internet. Kekuatan media generasi kedua adalah tentang
interaktivitas. Tanpa harus melalui jalur pendidikan formal pun, sekolah wartawan, misalnya, kita sudah bisa
memberikan informasi (berita).
Terkait dengan penggunaan media sebagai sumber
informasi, muncul sebuah pertanyaan:
apakah kita sudah bebas bermedia? Pertanyaan tersebut didasari
pada penguasaan media, khususnya di Indonesia, oleh segelintir orang saja. Kebebasan dalam penyampaian informasi kemudian menjadi semu karena
adanya tiga hal. Pertama, alur pemberitaan di tiap-tiap media sangat birokratis. Hal ini membuat berita yang
ada (bahkan yang bagus sekalipun) tidak
selalu bisa diterbitkan atau disiarkan kepada masyarakat. Hal semacam ini
terkait dengan penyebab kedua yakni kepemilikan media. Seperti yang sebelumnya sudah diungkapkan, media
kemudian dikuasai oleh beberapa orang saja. Sementara, hal ketiga yang membuat
kebebasan menjadi semu adalah akses infrastruktur media yang terbatas. Keberadaan
informasi yang penting dan menyangkut kepentingan banyak orang menjadi
sia-sia apabila tidak dapat disebar
luaskan karena ketiadaan infrastruktur atau perangkat pendukung.
Media komunitas juga disinggung dalam seminar ini.
“Media yang dibentuk oleh komunitas untuk kepentingan komunitas,” tutur salah seorang
peserta seminar bernama Luthfi ketika ditanya mengenai pengertian media
komunitas. Lebih jauh, pembicara menjelaskan bahwa media semacam ini hadir di setiap
zaman dan berkembang terkait dengan kepentingan masing-masing. Sebelum tahun
1950-an, media yang ada berupa zine dan selebaran. Kemudian setelah 1960-an mulai digunakan
radio komunitas. Pada pasca 1990-an, barulah media berbasis internet mulai digunakan. Bagaimanapun bentuknya,
media komunitas punya kekuatan untuk membuat audiens menjadi militan sehingga media
komunitas menjadi efektif untuk membangun masyarakat.
Sebagai gambaran, pembicara mengambil contoh kasus
mengenai perebutan air di Pati selatan. Daerah tersebut dikenal memiliki bahan
baku yang lengkap untuk pembuatan semen sehingga banyak perusahaan semen (Semen Gresik, Indosemen dan Semen Indonesia) yang berniat melakukan penambangan
di daerah tersebut. Masalahnya, batuan kapur yang menyusun daerah tersebut memiliki
sifat seperti spons sehingga mampu menjaga ketersediaan air. Sehingga apabila terus menerus
digali, dikhawatirkan ketersediaan air menjadi terganggu. Meski perang opini
tentang diterima atau tidaknya pembangunan pabrik semen di daerah ini terjadi, namun media massa sulit
untuk diakses. Hal ini membuat media alternatif hadir sebagai pilihan.