Disabilitas bukanlah hambatan dalam pembuatan sebuah film, khususnya
film dokumenter. Kurang-lebih hal inilah yang dibuktikan dengan adanya
pemutaran dan diskusi video diary dengan
tema SAMA (Ruang, Peluang, dan Perlakuan)
pada hari Rabu (11/12). Bertempat di XXI Empire
Yogyakarta, puluhan penyandang
disabilitas memadati bangku studio 3 XXI. Mereka yang hadir berasal dari berbagai daerah dengan
disabilitas yang berlainan mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan
tunagrahita. Acara ini dapat terselenggara atas kerjasama antara Yayasan
Kampung Halaman dan ILO dibawah naungan Festival Film Dokumenter. Dian, selaku
wakil dari Yayasan Kampung Halaman dalam sambutannya menyatakan bahwa ada
sepuluh pembuat video diary yang didatangkan dari Jakarta. “Isu disabilitas
sudah saatnya masuk ke ruang publik,” ujar Dian dalam sambutannya. Sementara Iwan dari pihak FFD
menyatakan bahwa pada FFD kali ini memang disabilitas berkesempatan untuk menyaksikan
FFD. “Tahun ini FFD memang terbuka untuk teman-teman disabilitas,” kata Iwan. Selain dari
pihak Kampung Halaman dan FFD, hadir juga perwakilan dari ILO, Pemda Yogyakarta, perwakilan
dari perusahaan serta perwakilan dari lembaga atau komunitas yang memiliki
perhatian pada disabilitas.
© 2013 FFD |
Terdapat dua film atau video diary yang diputarkan pada
kesempatan kali ini yaitu JOB (UN) FAIR dan Mana
Akses Kami. Selain itu juga diputarkan
behind the scene dari pembuatan film tersebut yang membuktikan bahwa video tersebut
benar-benar dibuat oleh para penyandang disabilitas. Launching video diary ini
sendiri merupakan kesempatan yang ketiga,
setelah sebelumnya diputar di Jakarta dan Surabaya. Pemilihan waktu pemutaran di Yogyakarta sekaligus
memperingati hari disabilitas. Rencananya, pemutaran serupa juga akan dilakukan
di Semarang. Setelah pemutaran dilanjutkan dengan diskusi terkait isu-isu yang
dibahas dalam video diary tersebut.
JOB (UN) FAIR
Dalam sebuah bursa kerja di Jakarta, seorang disabilitas
mencoba mempertanyakan kesempatan bagi kaum difabel untuk dapat memeroleh
pekerjaan di perusahaan. Hal ini dilakukan terkait dengan adanya undang-undang
yang mengharuskan paling tidak satu persen kaum difabel untuk dapat bekerja di
perusahaan. Namun, dalam bursa kerja tersebut tidak terdapat kepastian, apakah
ada kesempatan bagi kaum difabel untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan
yang ditampilkan dalam video tersebut, karena adanya beberapa tuntutan dalam pekerjaan
yang tidak memungkinkan apabila dilakukan oleh kaum difabel.
Mariana, seorang penyandang tunanetra bekerja di
Indosiar sebagai operator informasi umum di Indosiar. Keterbatasan yang
dimilikinya tidak menjadi penghalang bagi Mariana untuk dapat menjalankan
tugasnya. Di Indosiar sendiri, Mariana bukan satu-satunya penyandang
disabilitas yang berkesempatan untuk bekerja. Ada juga penyandang tunarungu dan
tuna daksa yang bekerja di stasiun televisi tersebut.
Video produksi tim Seger ini menunjukkan bahwa sebenarnya penyandang disabilitaspun dapat bekerja seperti biasa. Bahkan bagian HRD di perusahaan lain, yang salah satu karyawannya merupakan penyandang disabilitas, menyatakan bahwa mempekerjakan disabilitas bukanlah merupakan hal yang sulit. Justru karyawan penyandang disabilitas lebih serius dan fokus dalam bekerja.
© 2013 FFD |
Mana Akses Kami
Video Diary buatan tim Fauja ini menggambarkan permasalahan kaum difabel terkait pemanfaatan fasilitas umum bagi mereka, khususnya yang ada di Jakarta. Dalam video ini ditampilkan sosok Wawan—penyandang tunanetra—yang sering kali mengalami kesulitan ketika menyebrang jalan dan berjalan kaki di trotoar karena tidak adanya petunjuk—guiding block—yang jelas sehingga dapat memandu penyandang tunanetra untuk berjalan dengan aman. Kalaupun ada, pemasangan guiding block sering kali salah sehingga justru menyesatkan para tuna netra.
Ira, seorang freelance arsitek panyandang tunarungu merasa iri dengan fasilitas untuk difabel yang ada di luar negeri. Ira kemudian mencari data mengenai seperti apa seharusnya fasilitas publik dibangun supaya bisa digunakan oleh penyandang disabilitas tanpa banyak kendala. Intinya, dalam video ini ditekankan bahwa sudah seharusnya kaum difabel dilibatkan dalam pembuatan fasilitas publik.
© 2013 FFD |
Kedua video tadi mengambil isu yang secara umum menjadi permasalahan bagi penyandang disabilitas. Dalam JOB (UN) FAIR, misalnya, stigma yang sudah terlanjur melekat pada masyarakat cenderung membuat kesempatan penyandang disabilitas untuk dapat bekerja menjadi dipertanyakan. Namun dengan memberikan kesempatan dan kepercayaan kaum disabilitaspun dapat bekerja dengan baik. Sayangnya masih ada beberapa perusahaan yang melihat bahwa dengan mempekerjakan kaum disabilitas, maka perusahaan akan membutuhkan tambahan fasilitas khusus bagi mereka. Fasilitas jugalah yang menjadi isu yang diangkat dalam video diary kedua yang berjudul Mana Akses Kami, dimana sampai saat ini masih banyak fasilitas umum yang tidak ramah bagi kaum difabel. Untuk itu, pemerintah sudah sepantasnya dituntut untuk melakukan perbaikan fasilitas umum agar dapat digunakan oleh semua orang tanpa terkecuali.