Dec 11, 2013

Film: Di Balik Frekuensi

“Tiada lagi batas, semua kini terbagi, terdistribusi melalui frekuensi."

Konon, frekuensi adalah milik publik—tak ubahnya seperti air dan udara—yang dalam pemanfaatannya harus digunakan untuk kepentingan publik. Namun, dengan kepemilikan media di Indonesia yang dimonopoli oleh segelintir orang, masihkah kepentingan publik dapat diutamakan?
Terdapat dua kisah dalam film karya Ucu Agustin ini. Pertama, kisah mengenai Luvianaseorang jurnalis Metro TV—yang dirumahkan dengan alasan yang tidak jelas. Perempuan yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di Metro TV ini menuntut didirikannya serikat pekerja demi kesejahteraan karyawan. Sehari-hari, Luviana bekerja layaknya seorang produser, namun hanya memperoleh gaji sebagai asisten produser. Bukan hanya Luviana saja yang dirumahkan oleh pihak Metro TV, masih ada dua teman lainnya yang bernasib serupa, namun mereka lebih memilih untuk tidak memperjuangkan persoalan tersebut lebih jauh. Aksi Luviana ini didukung oleh banyak pihak dengan pendirian Aliansi METRO (Melawan Topeng Restorasi), meski sebagian besar karyawan yang masih bekerja di Metro TV memilih untuk cari aman dan tidak mau berkomentar mengenai kasus Luviana.
© 2013 FFD






















Kisah kedua, seorang laki-laki korban lumpur Lapindo bernama Hari Suwandi melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta demi menuntut penuntasan ganti rugi terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh semburan lumpur di Sidoarjo.  Aksi ini dilakukan karena aksi-aksi sebelumnya tidak pernah memperoleh tanggapan yang jelas. Dalam melakukan aksinya, Hari didampingi oleh Harto Wiyono sebagai saksi yang membuktikan bahwa Hari benar-benar berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta. Harto yang menggunakan sepeda motor juga sekaligus membawa keperluan logistik untuk Hari. Perjalanan ini mendapat perhatian dari banyak pihak, termasuk warga masyarakat, yang tampak memberikan dukungan terhadap aksi jalan kaki ini.

Kedua kisah tersebut menarik untuk diliput dan diberitakan kepada khalayak. Terlihat jelas bagaimana cara media—khususnya melalui berita televisi—merekonstruksi rebuah realitas dengan versinya masing-masing, berdasarkan kepentingan pemiliknya. Hal inilah yang menjadi benang merah dan menghubungkan antara kasus Luviana dengan aksi Hari Suwandi. TV Oneyang notabene merupakan stasiun televisi milik Bakriemisalnya, memframing berita mengenai aksi jalan kaki yang dilakukan oleh Hari Suwandi sekadar sebagai aksi cari sensasi yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu demi mengambil keuntungan. Berdasarkan versi TV One, kasus lumpur Lapindoyang oleh TV One disebut sebagai Lumpur Sidoarjodipolitisasi sedemikian rupa guna memengaruhi elektabilitas Bakrie dalam Pemilu 2014. Padahal, stasiun televisi yang lain kebanyakan menampilkan Hari sebagai sosok pejuang yang ingin menyampaikan aspirasi masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pemberitaan ini kemudian  membuat Hari menolak ketika wartawan  TV One datang untuk meliput aksinya.
© 2013 FFD



















Kembali ke kasus Luviana, muncul suatu pertanyaan yang kemudian ditanyakan kepada rekan-rekan seprofesinya. Apakah wartawan termasuk buruh? Pertanyaan ini muncul ketika kasus tersebut memperoleh dukungan dari para buruh dan Luviana menempatkan dirinya sebagai seorang pekerja yang menuntut kesejahteraan dan hak berserikat dalam institusi tempatnya bekerja. Di sinilah kita bisa melihat adanya batasan yang kabur: sebagian wartawan menolak disebut buruh, sebagian sependapat bahwa wartawan juga termasuk buruh  karena tidak mempunyai faktor produksi dan sisanya memilih untuk cari aman dengan cara tidak berpendapat.

Secara keseluruhan, film Di Balik Frekuensi ini menyajikan beragam fakta mengenai konglomerasi media di Indonesia dan dampak yang ditimbulkannya. Salah satu dampak yang paling kasat mata adalah penyalahgunaan frekuensi publik untuk kepentingan pemilik media, misalnya pencitraan atas kasus-kasus tertentu. Film ini menyajikan narasumber dari berbagai kalangan, baik dari wartawan maupun pihak-pihak yang memahami dengan jelas adanya pelanggaran UU Penyiaran. Semua itu membawa kita kembali pada satu pertanyaan: di negara ini, masih adakah media yang benar-benar membawa kepentingan publik dalam menyajikan sebuah berita?
 
Copyright © Forum Film Dokumenter 2013 FFD
Design by FBTemplates | BTT